Sabtu, 16 Oktober 2010

masa lalu bahasa indonesia

Masa lalu sebagai bahasa Melayu
Bahasa Indonesia adalah varian bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia dari cabang bahasa-bahasa Sunda-Sulawesi, yang digunakan sebagai lingua franca di Nusantara kemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan modern.
Kerajaan Sriwijaya dari abad ke-7 Masehi diketahui memakai bahasa Melayu (sebagai bahasa Melayu Kuna) sebagai bahasa kenegaraan. Lima prasasti kuna yang ditemukan di Sumatera bagian selatan peninggalan kerajaan itu menggunakan bahasa Melayu yang bertaburan kata-kata pinjaman dari bahasa Sanskerta, suatu bahasa Indo-Eropa dari cabang Indo-Iran. Jangkauan penggunaan bahasa ini diketahui cukup luas, karena ditemukan pula dokumen-dokumen dari abad berikutnya di Pulau Jawa[10] dan Pulau Luzon.[11] Kata-kata seperti samudra, istri, raja, putra, kepala, kawin, dan kaca masuk pada periode hingga abad ke-15 Masehi.
Pada abad ke-15 berkembang bentuk yang dianggap sebagai bahasa Melayu Klasik (classical Malay atau medieval Malay). Bentuk ini dipakai oleh Kesultanan Melaka, yang perkembangannya kelak disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi. Penggunaannya terbatas di kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Jawa, dan Semenanjung Malaya.[rujukan?] Laporan Portugis, misalnya oleh Tome Pires, menyebutkan adanya bahasa yang dipahami oleh semua pedagang di wilayah Sumatera dan Jawa. Magellan dilaporkan memiliki budak dari Nusantara yang menjadi juru bahasa di wilayah itu. Ciri paling menonjol dalam ragam sejarah ini adalah mulai masuknya kata-kata pinjaman dari bahasa Arab dan bahasa Parsi, sebagai akibat dari penyebaran agama Islam yang mulai masuk sejak abad ke-12. Kata-kata bahasa Arab seperti masjid, kalbu, kitab, kursi, selamat, dan kertas, serta kata-kata Parsi seperti anggur, cambuk, dewan, saudagar, tamasya, dan tembakau masuk pada periode ini. Proses penyerapan dari bahasa Arab terus berlangsung hingga sekarang.
Kedatangan pedagang Portugis, diikuti oleh Belanda, Spanyol, dan Inggris meningkatkan informasi dan mengubah kebiasaan masyarakat pengguna bahasa Melayu. Bahasa Portugis banyak memperkaya kata-kata untuk kebiasaan Eropa dalam kehidupan sehari-hari, seperti gereja, sepatu, sabun, meja, bola, bolu, dan jendela. Bahasa Belanda terutama banyak memberi pengayaan di bidang administrasi, kegiatan resmi (misalnya dalam upacara dan kemiliteran), dan teknologi hingga awal abad ke-20. Kata-kata seperti asbak, polisi, kulkas, knalpot, dan stempel adalah pinjaman dari bahasa ini.
Bahasa yang dipakai pendatang dari Cina juga lambat laun dipakai oleh penutur bahasa Melayu, akibat kontak di antara mereka yang mulai intensif di bawah penjajahan Belanda. Sudah dapat diduga, kata-kata Tionghoa yang masuk biasanya berkaitan dengan perniagaan dan keperluan sehari-hari, seperti pisau, tauge, tahu, loteng, teko, tauke, dan cukong.
Jan Huyghen van Linschoten pada abad ke-17 dan Alfred Russel Wallace pada abad ke-19 menyatakan bahwa bahasa orang Melayu/Melaka dianggap sebagai bahasa yang paling penting di "dunia timur".[12] Luasnya penggunaan bahasa Melayu ini melahirkan berbagai varian lokal dan temporal. Bahasa perdagangan menggunakan bahasa Melayu di berbagai pelabuhan Nusantara bercampur dengan bahasa Portugis, bahasa Tionghoa, maupun bahasa setempat. Terjadi proses pidginisasi di beberapa kota pelabuhan di kawasan timur Nusantara, misalnya di Manado, Ambon, dan Kupang. Orang-orang Tionghoa di Semarang dan Surabaya juga menggunakan varian bahasa Melayu pidgin. Terdapat pula bahasa Melayu Tionghoa di Batavia. Varian yang terakhir ini malah dipakai sebagai bahasa pengantar bagi beberapa surat kabar pertama berbahasa Melayu (sejak akhir abad ke-19).[13] Varian-varian lokal ini secara umum dinamakan bahasa Melayu Pasar oleh para peneliti bahasa.
Terobosan penting terjadi ketika pada pertengahan abad ke-19 Raja Ali Haji dari istana Riau-Johor (pecahan Kesultanan Melaka) menulis kamus ekabahasa untuk bahasa Melayu. Sejak saat itu dapat dikatakan bahwa bahasa ini adalah bahasa yang full-fledged, sama tinggi dengan bahasa-bahasa internasional di masa itu, karena memiliki kaidah dan dokumentasi kata yang terdefinisi dengan jelas.
Hingga akhir abad ke-19 dapat dikatakan terdapat paling sedikit dua kelompok bahasa Melayu yang dikenal masyarakat Nusantara: bahasa Melayu Pasar yang kolokial dan tidak baku serta bahasa Melayu Tinggi yang terbatas pemakaiannya tetapi memiliki standar. Bahasa ini dapat dikatakan sebagai lingua franca, tetapi kebanyakan berstatus sebagai bahasa kedua atau ketiga. Kata-kata pinjaman


sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Indonesia

Pengaruh Bahasa Melayu terhadap Bahasa Indonesia sebagai Media Integritas Bangsa

Tampaknya, pada zaman Sriwijaya dengan bahasa Melayu Kuno telah dikenal sejumlah awalan, akhiran, dan sisipan. Terdapat awalan mar- atau war- seperti pada kata marppadah, waranak, atau warpatih yang sekarang berubah menjadi awalan ber-. Pada zaman itu, dikenal juga awalan ni- seperti pada kata niminum, niparwuat, nimakan, dan niwunuh yang kini berubah menjadi awalan di-. Pada zaman itu, terdapat sisipan –in- seperti pada kata winunuh yang kini dihidupkan kembali dalam bentuk kata kinerja, kinasih, dan sinambung.

Kata ‘akan’ tertentu pada zaman itu, kini berubah menjadi akhiran –kan sedangkan imbuhan –nda seperti pada kata ananda, ayahanda, ibunda sudah dikenal sejak zaman Sriwijaya. Demikian pula, pada zaman itu, dikenal banyak kata yang seperti pada kata yang wala, yang kayu, yang nivava, yang nitanam, yang manyuruh, dan kata lain semacam itu. Pada zaman sekarang, kata yang masih digunakan seperti pada kata yang dipertuan agung, yang mulia, yang terkasih, dan yang terhormat.

Hal-hal yang telah tersebut di atas merupakan sebagian kecil pengaruh kata serapan dari bahasa Melayu terhadap perkembangan bahasa Indonesia. Kenyataannya, bahasa Indonesia merupakan turunan dari bahasa Melayu. Maka, secara langsung dan tidak langsung, pengaruhnya sangat besar. Bahkan, hal ini sudah bukan isu lagi. Secara resmi, bahasa Indonesia telah diakui dan digunakan sebagai media komunikasi sehari-hari di Indonesia. Jadi, sangat disesali apabila terdapat satu atau dua bangsa yang mengaku memiliki bahasa Melayu secara sepenuhnya. Tentunya, hal ini mengakibatkan perpecahan antar bangsa-bangsa di dunia.

Hal yang harus diperhatikan adalah sebagai varian sosial dan varian regional, bahasa Indonesia dan bahasa negara tetangga digunakan oleh kelompok orang yang berbeda dan di tempat yang berbeda. Perkembangan bahasa Indonesia dipengaruhi oleh perkembangan bangsa Indonesia dan apa yang terdapat dan terjadi di Indonesia, begitu pula bahasa lainnya. Dengan demikian, dari tahun ke tahun, perbedaan antara bahasa Indonesia dengan bahasa negara tetangga semakin besar. Bagaikan saudara yang diasuh di rumah berbeda, bukan tidak mungkin kedua bahasa ini tidak saling mengenal lagi ketika sudah tua nanti.


sumber : http://kata-kan.blogspot.com/2010/06/pengaruh-bahasa-melayu-terhadap-bahasa.html